Pada tahun 2024, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mencatat bahwa terdapat lebih dari 120.000 apoteker yang tersebar di seluruh Indonesia. Meski demikian, profesi ini masih kerap terlupakan, terutama dalam sorotan publik terkait sistem kesehatan nasional (Sumber : pafi.id). Di Provinsi Bengkulu, keberadaan apoteker tersebar di berbagai fasilitas kesehatan, namun peran strategis mereka masih belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
Faktanya, apoteker memainkan peran penting dalam menjamin keamanan, efektivitas, dan rasionalitas penggunaan obat. Di tengah peningkatan prevalensi penyakit kronis, resistensi antibiotik, hingga penyalahgunaan obat, apoteker sejatinya berada di garis depan sebagai penjaga terapi yang aman dan tepat. Namun, keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan medis masih terbatas, terutama di daerah-daerah dengan infrastruktur kesehatan yang belum optimal.
Apoteker: Garda Depan Rasionalisasi Obat

Apoteker adalah tenaga kesehatan profesional yang memiliki pendidikan tinggi di bidang farmasi dan kewenangan hukum untuk melakukan pelayanan kefarmasian. Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian menyatakan bahwa apoteker bertanggung jawab langsung terhadap pemberian informasi, pelayanan obat, dan edukasi pasien.
Dalam praktiknya, apoteker memastikan bahwa obat yang Anda konsumsi sesuai dengan indikasi medis, tidak berinteraksi negatif dengan obat lain, dan diberikan dalam dosis serta frekuensi yang tepat. Mereka juga berperan aktif dalam meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan (adherence), terutama dalam kasus penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes.
Realitas di Bengkulu: Distribusi Tidak Merata dan Peran Terbatas
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2023, terdapat lebih dari 350 apotek berizin di wilayah ini, dengan konsentrasi terbesar berada di Kota Bengkulu dan Rejang Lebong. Namun, rasio jumlah apoteker dengan jumlah apotek dan populasi belum ideal. Di beberapa kabupaten seperti Kaur dan Mukomuko, masih terjadi kekurangan apoteker tetap, yang mengakibatkan praktik pelayanan kefarmasian dilakukan oleh tenaga non-profesional atau teknisi farmasi.
Fenomena “apoteker administratif” juga masih ditemukan, di mana apoteker hanya hadir pada jam tertentu untuk memenuhi persyaratan regulasi, namun tidak aktif memberikan konsultasi kepada pasien. Hal ini berisiko menurunkan mutu pelayanan dan meningkatkan angka kesalahan penggunaan obat (medication error).
Peran Strategis dalam Program Gema Cermat
Untuk mengatasi rendahnya literasi masyarakat terhadap obat, Kementerian Kesehatan meluncurkan program Gema Cermat (Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat). Di Bengkulu, apoteker berperan sebagai agen utama dalam menyosialisasikan pentingnya penggunaan obat secara benar, baik melalui penyuluhan langsung di komunitas maupun melalui media digital.
Apoteker yang tergabung dalam Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) wilayah Bengkulu aktif menyelenggarakan kegiatan edukasi di sekolah, posyandu, dan balai desa. Salah satu kegiatan yang tercatat dalam laporan tahunan IAI Bengkulu adalah penyuluhan terkait bahaya penggunaan antibiotik tanpa resep yang diadakan di Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu pada awal 2023.
Edukasi ini sangat penting karena menurut data WHO, lebih dari 50% obat di dunia dikonsumsi secara tidak tepat, dan 50% pasien tidak mengonsumsi obat sebagaimana yang diresepkan. Apoteker memegang peran kunci dalam menekan angka ini melalui komunikasi efektif dan pendekatan berbasis empati kepada pasien.
Kolaborasi Klinis: Apoteker Rumah Sakit
Peran apoteker di rumah sakit tidak hanya sebatas pengelola gudang obat. Apoteker klinis ikut serta dalam perawatan pasien secara langsung melalui peninjauan resep, monitoring terapi, dan pemberian informasi kepada dokter terkait interaksi obat atau reaksi yang merugikan.
Menurut data RSUD M. Yunus Bengkulu, sejak 2022 telah dibentuk tim farmasi klinik yang terdiri dari apoteker senior yang bertugas di ruang rawat inap dan ICU. Tim ini berperan aktif dalam memastikan terapi obat yang diberikan sesuai dengan protokol medis dan kondisi spesifik pasien.
Sayangnya, belum semua rumah sakit di Bengkulu memiliki sistem farmasi klinis yang optimal. Kurangnya jumlah apoteker terlatih serta keterbatasan dukungan manajemen menjadi hambatan tersendiri dalam mengintegrasikan apoteker ke dalam tim medis multidisipliner.
Etika dan Regulasi Praktik Apoteker
Apoteker terikat oleh Kode Etik Apoteker Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan RI yang mengatur praktik pelayanan kefarmasian. Mereka wajib menolak pemberian obat keras tanpa resep dan melaporkan jika ada pelanggaran etik di fasilitas tempat mereka bekerja.
Namun, dalam kenyataan di lapangan, tekanan komersial dan kompetisi bisnis membuat sebagian apotek mengabaikan prosedur ini. Praktik ini tidak hanya mencoreng kredibilitas profesi, tetapi juga membahayakan pasien.
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu bersama Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah meningkatkan intensitas inspeksi rutin dan pembinaan kepada apotek. Masyarakat juga diminta untuk melaporkan apotek yang memberikan obat keras tanpa konsultasi apoteker.
Digitalisasi Layanan Farmasi dan Masa Depan Profesi
Perkembangan teknologi menghadirkan peluang besar bagi apoteker di Bengkulu untuk memperluas jangkauan pelayanan. Telepharmacy atau konsultasi farmasi daring menjadi solusi bagi wilayah terpencil yang sulit dijangkau apoteker secara fisik. Layanan ini telah mulai diuji coba melalui platform-platform kesehatan digital seperti Halodoc dan SehatQ, dan berpotensi diadopsi lebih luas di Bengkulu dengan dukungan pemerintah daerah.
Selain itu, penggunaan sistem informasi manajemen apotek (SIMA) juga mulai diterapkan di beberapa apotek besar di Kota Bengkulu. Teknologi ini membantu meningkatkan akurasi pemberian obat, pelacakan stok, serta dokumentasi riwayat penggunaan obat pasien.
Apoteker di Bengkulu memainkan peran yang sangat strategis dalam sistem pelayanan kesehatan, mulai dari edukasi publik hingga kolaborasi klinis di rumah sakit. Namun, tantangan seperti distribusi yang tidak merata, kurangnya pemahaman masyarakat, serta tekanan komersial masih menjadi hambatan utama dalam mengoptimalkan peran mereka.
Sudah saatnya profesi apoteker diberi ruang lebih besar dalam pengambilan keputusan medis, didukung secara struktural oleh institusi kesehatan, dan dihargai secara sosial oleh masyarakat. Anda pun memiliki peran penting dalam perubahan ini dengan memilih berkonsultasi ke apotek yang memiliki apoteker tetap, memahami informasi obat sebelum mengonsumsi, serta mendukung inisiatif edukasi obat di lingkungan sekitar.